VIVAnews – Sehari setelah ribuan masyarakat Yogyakarta menggelar sidang keistimewaan, sekitar 200 orang berkumpul di trotoar Jalan Jogja-Solo, tepatnya di selatan Candi Prambanan.
Mereka menggelar wilujengan atau doa keselamatan, sekaligus mendeklarasikan keistimewaan Surakarta. Koordinator komunitas pendukung Provinsi Daerah Istimewa Surakarta, Sutardi mengklaim tujuh perwakilan warga kabupaten hadir dalam acara tersebut.
Ketujuh perwakilan itu berasal dari Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, dan Sragen. “Kami berharap Surakarta jadi daerah istimewa sendiri. Setingkat provinsi, di luar Jawa Tengah,” kata dia, Selasa 14 November 2010.
Penyatuan tujuh kabupaten ke Daerah Istimewa Surakarta, kata Sutardi, adalah demi kemakmuran warga. “Juga untuk kemajuan budaya Jawa karena Surakarta karena sumber budaya Jawa.”
Mengapa baru sekarang keistimewaan ini dituntut? Mengekor isu keistimewaan Yogyakarta? Menurut Sutardi, kesamaan momentum dengan DIY hanya kebetulan. “Supaya politisi, akademisi, dan masyarakat tahu keistimewaan Surakarta. Mengingatkan sekaligus mendesak supaya dikeluarkan UU Daerah Istimewa Surakarta."
Menurut dia, gerakan masyarakat ini mengikuti gerakan yang dilakukan pihak keraton. Dalam hal ini GRAy Koes Moertiyah yang juga ketua pengageng Sasono Wilopo semacam sekretaris negaranya Keraton.
Sebelumnya, Koes Moertiyah berargumen, Solo pantas menjadi daerah istimewa dilihat dari faktor historis. Kata dia, Piagam Kedudukan Daerah Istimewa Surakarta dikeluarkan lebih awal daripada Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Yang penting saya ingin meluruskan sejarah bahwa daerah istimewa itu bukan hanya Yogyakarta tetapi juga Surakarta," kata putri almarhum Pakubuwono XII yang akrab dipanggil Gusti Mung itu, saat dihubungi VIVAnews, Senin, 13 Desember 2010.
"Selain itu, keluarnya piagam kedudukan keistimewaan dan maklumat Surakarta lebih awal yakni tanggal 1 September 1945, sedangkan Yogyakarta baru dikeluarkan pada tanggal 5 September 1945," ujarnya.
Isi surat piagam kedudukan dan maklumat tersebut, dijelaskan dia, sama persis dengan Yogyakarta. Hanya saja saat itu kondisi di Surakarta sedang terjadi pemberontakan swapraja. Bolak-balik pejabat patih atau perdana menteri di keraton dibunuh oleh komunis.
"Tiga kali pejabat patih dibunuh terus. Karena kondisinya seperti itu maka Pakubuwono XII dan Mangkunegara VIII mengutus Wuryaningrat berunding ke pemerintah pusat untuk menitipkan piagam. Oleh sebab itu pemberlakuan isi piagam tersebut ditunda dan belum sampai diundangkan," ujarnya.
Sulit
Analis politik Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, mengatakan, dari sejarahnya ada empat kerajaan yang mendapat piagam kedudukan keistimewaan yaitu Kesultanan Deli, Kesultanan Bone, Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta.
“Tetapi dengan proses berjalannya waktu hanya keraton Yogyakarta saja yang bertahan,“ kata pengajar di Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM itu, Selasa 14 Desember 2010.
Ini adalah keberhasilan Sultan Hamengku Buwono IX yang memimpin Keraton Yogyakarta melakukan proses demokratisasi. Yogyakarta berhasil meleburkan tata kesultanan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Ya, antara tahun 1945-1950 di Indonesia memang penuh proses demokratisasi. Dan sekali lagi yang bertahan adalah Keraton Yogyakarta,“ tuturnya.
Rahasia Yogyakarta bertahan itu karena proses sejarah dan sosiologi masyarakat yang berbeda dengan tiga bekas kesultanan lain.
Bagaimana dengan Keraton Surakarta? Kata Ari, sulit.
Surakarta secara sejarah dan sosiologi politik yang berbeda dengan Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Misal kita bandingkan ya, antara Surakarta dan Yogyakarta. Di Surakarta pernah terjadi pemberontakan anti-swapraja. Waktu itu para pemangku jabatan di Keraton dibunuh oleh mereka yang antiswapraja. Padahal di Yogyakarta, proses demokratisasi Keraton berjalan dengan mulus,“ ujarnya.
“Nah sekarang kalau dilihat dari kondisi sosiologis politik masyarakatnya, maksudnya adalah tingkat penerimaan masyarakat terhadap keberadaan Keraton dengan label istimewa tersebut. Kan jelas beda," katanya.
Kemudian, untuk mengajukan atau mungkin menagih kembali hak istimewa untuk dijadikan sebagai sebuah proses politik nasional perlu dilihat juga mengenai siapa yang menginginkan dan mengusulkan.
“Untuk menjadi proses politik nasional sepertinya untuk 'Daerah Istimewa Surakarta' sulit. Karena yang mengajukan untuk menjadi daerah istimewa adalah berdasar konsensus daerah bukan konsensus entitas," katanya. (sj)
Laporan: Fajar Sodik (Solo), Erick (Yogyakarta)
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar