Kamis, 7 Oktober 2010, 00:03 WIB
Renne R.A Kawilarang, Denny Armandhanu, Mohamad Teguh 
(Biro Pers Istana Presiden/Abror Rizki)
Keputusan itu cukup melegakan. Sebab gugatan itulah yang menjadi sebab musabab Presiden SBY secara mengejutkan dan mendadak membatalkan kunjungan ke negeri itu, Selasa 5 Oktober 2010. Padahal sebagian rombongan sudah masuk ke dalam pesawat.
Lalu apakah masalah sudah beres dan Presiden SBY segera berkunjung ke negeri itu? Belum tentu. Sebab dua persoalan lain masih menganjal. Apa itu? Ya, lagi-lagi masih seputar gugatan para petinggi RMS yang sudah bertahun lampau menetap di Belanda itu.
Dalam gugatan ke pengadilan petinggi RMS memang mengajukan tiga tuntutan. Pertama soal penangkapan Presiden SBY itu. Mereka menuntut agar penangkapan di lakukan Rabu, 6 Oktober 2010, saat presiden melakukan kunjungan kenegeraan itu. Untuk sementara tuntutan pertama ini kandas. Petinggi RMS mengajukan banding.
Tuntutan kedua adalah makam Chris Soumokil dan ketiga adalah soal hak menentukan nasib sendiri.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto menegaskan bahwa dalam gugatannya itu RMS juga menuntut agar Pemerintah Belanda meminta penjelasan kepada Indonesia tentang makam Chris Soumokil, pemimpin pertama RMS, yang selama dekade 1950-an melancarkan gerakan separatisme bersenjata di Maluku.
"Selain itu ada tuntutan agar pemerintah Belanda meminta pemerintah RI dialog dengan RMS tentang Self Determination [penentuan nasib sendiri] di Maluku," jelas Djoko dalam keterangan kepada VIVAnews, Rabu 6 Oktober 2010.
Soal makam Soumokil itu ramai diperbincangkan di kalangan orang Maluku di Belanda belakangan ini. Janda Soumokil, Josina, hadir dalam sidang kilat pengadilan di Den Haag Selasa kemarin. Kepada pers yang meliput sidang itu dia menegaskan bahwa pemerintah Belanda harus menanyakan kepada Presiden Yudhoyono dimana kuburan suaminya, yang dihukum mati pada 1965.
"Itu bukan hanya hak saya dan anak saya, tetapi juga bangsa Maluku untuk mengetahuinya," kata Josina Soumokil seperti yang dikutip Radio Nederland siaran Indonesia.
Selain soal mengugat ke pengadilan, para pendukung RMS di Belanda juga akan turun ke jalan. Rencananya, Kamis 7 Oktober 2010 mereka akan berunjuk rasa di pusat kota Amsterdam.
Djoko menegaskan, Presiden menghendaki semua proses yang berlangsung di sidang pengadilan itu harus jelas dan tuntas, baru membicarakan soal kunjungan kenegaraan,
Permintaan Yudhoyono itu dapat dipahami apalagi setelah muncul kabar bahwa pengacara yang mewakili RMS, Egbert Tahitu, tetap ngotot dengan tuntutan penangkapan itu. Mereka mengajukan banding atas putusan sidang yang menolak tuntutan pertama, yaitu mencabut hak imunitas presiden sehingga bisa ditangkap untuk dihadirkan dalam pengadilan pelanggaran HAM.
Itulah sebabnya, menurut juru bicara kepresidenan, Julian Pasha, dibutuhkan waktu setidaknya hingga pekan depan untuk menunggu tuntasnya sidang pengadilan dalam memutuskan semua tuntutan RMS sebelum mejadwal ulang kunjungan Yudhoyono ke Belanda.
Dalam siaran pers di Bandar Halim Perdanakusumah soal pembatalan kunjungan itu, Presiden SBY menegaskan bahwa sebagai presiden suatu negara yang berdaulat, tuntutan hukum dari kelompok pemberontak RMS yang masih diproses sidang pengadilan di Den Haag itu sudah melecehkan kehormatan bangsa. "Itu menyangkut harga diri dan kehormatan kita sebagai bangsa. Saya tahu itu adalah pengadilan biasa, tapi ini menyangkut harga diri," kata Yudhoyono dalam jumpa pers dadakan di Bandara Halim.
Pemerintah Belanda sendiri masih bersabar dan berharap bahwa Yudhoyono tetap melakukan lawatan dalam waktu dekat. "Pemerintah Belanda tetap menantikan lawatan Presiden Yudhoyono dan rombongan ke negeri kami. Kami menanti jadwal baru dari pihak Indonesia. Mudah-mudahan bisa dipersiapkan dalam waktu dekat," kata juru bicara Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, Alexander Kofman, saat dihubungi VIVAnews.
Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd F. de Zwaan, dikabarkan masih tetap berada di negaranya untuk bersiap-siap menyambut kunjungan Yudhoyono bila jadi dilakukan dalam waktu dekat.
***
Bagi kalangan pengamat, keputusan pengadilan Belanda yang menolak permintaan penangkapan atas Presiden SBY sudah dapat diduga sejak awal. Menurut pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana, alasan pertama adalah karena RMS yang diwakilkan oleh perorangan - dalam hal ini John Wattilete sebagai presiden RMS di pengasingan - tidak dapat mengajukan perintah penangkapan terhadap siapapun dengan alasan apapun.
“Permintaan penangkapan dalam sistem hukum di hampir semua negara hanya dilakukan oleh institusi negara seperti kepolisian dan kejaksaan,” ujar Juwana.
Tuntutan RMS agar pihak berwenang menangkap Yudhoyono juga tidak mungkin dikabulkan oleh pengadilan Belanda karena tidak didasarkan pada suatu tindak kejahatan. “Bila RMS melancarkan gugatan terhadap kebijakan pemerintah RI, maka gugatan demikian tidak akan berujung pada penangkapan,” lanjut Juwana.
Selain itu, para hakim Belanda tidak akan mudah terjebak dengan akrobat hukum dari para anggota RMS yang melancarkan gugatan saat kunjungan kenegaraan Presiden RI.
“Mereka sangat tahu kekebalan yg dimiliki oleh Kepala Negara dari luar negeri,” kata cendekiawan dari Universitas Indonesia itu.
RMS diduga akan melakukan banding terhadap penolakan tuntutannya terhadap pengadilan di Belanda, namun Juwana mengatakan bahwa banding yang diajukan RMS akan berujung sama, yaitu penolakan. “Oleh karena itu Presiden tidak perlu menunda lebih lama lagi kunjungan ke Belanda,” ujar Juwana.
Namun, pengamat Hubungan Internasional dari UI, Haryadi Wiryawan, sangat menyayangkan bila Yudhoyono benar-benar membatalkan kunjungan ke Belanda hanya karena aduan hukum dari RMS ke pengadilan lokal di Den Haag. “Yudhoyono tidak akan bisa tersentuh hukum karena telah mendapatkan jaminan dari perdana menteri dan ratu Belanda. Sebetulnya tidak ada alasan untuk khawatir,” ujar Haryadi yang dihubungi VIVAnews pada Rabu, 6 Oktober 2010.
Haryadi mengatakan bahwa pemerintah Belanda tidak bisa disalahkan atas hal ini, karena pengadilan tidak bisa diganggu gugat oleh kekuasaan eksekutif, serta semua orang berhak untuk mengajukan gugatannya. Untuk perkara pelanggaran HAM, Lagipula, menurut Haryadi, perlu waktu yang tidak sebentar dan perlu bukti-bukti yang cukup baru agar dapat dilakukan penangkapan.
“RMS tidak dapat memberikan barang bukti yang cukup, mereka tidak bisa menyandarkan gugatan mereka atas-atas argumen-argumen yang ada. Banyak kriteria yang diperlukan dalam upaya menyeret seseorang ke meja hijau,” ujar Haryadi.
Dia merujuk kepada klaim Wattilete bahwa Yudhoyono harus ditahan karena melanggar hak-hak asasi manusia di Maluku, dengan memerintahkan penahanan bagi para aktivis RMS. "Saat ini ada 93 orang dipenjara karena mereka berdemonstrasi secara damai bagi Republik Maluku Selatan. Data ini berdasarkan laporan dari Amnesty International dan Human Rights Watch," kata Wattilete seperti dikutip Radio Nederland.
Haryadi berharap agar kunjungan yang sudah dipersiapkan dan dinanti-nanti kedua pemerintah selama bertahun-tahun itu kandas hanya karena segelintir orang RMS mengadukan Yudhoyono ke pengadilan. Sikap Yuhdoyono ini justru akan menjadi bahan bakar bagi RMS untuk semakin berkobar.
“Seharusnya kita jangan gentar, jika sudah begini justru kita membesarkan nama RMS di luar negeri. Sekarang mereka merasa di atas angin karena telah menggagalkan kepergian seorang kepala negara,” ujar Haryadi.
Koridor demokrasi liberal barat yang dianut Belanda memungkinkan setiap orang untuk mengadukan gugatan ke pengadilan tanpa mendapat campur tangan pemerintah. Haryadi khawatir dengan sikap Yudhoyono seperti ini, setiap kali dia keluar negeri akan mendapatkan gugatan yang berakibat pembatalan kembali.
“Jika SBY sedikit-sedikit tersinggung, sedikit-sedikit bicara harga diri, maka SBY tidak akan bisa kemana-mana. Hal ini akan terus berulang lagi,” ujar Haryadi.
Dia memberi contoh kunjungan pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Than Shwe, ke India Juli lalu. Than Shwe juga menghadapi permasalahan yang sama dengan SBY, bahkan lebih berat. Jenderal ini diadukan ke pengadilan oleh aktivis Myanmar di India atas pelanggaran HAM, kedatangannya juga disambut demonstrasi ratusan orang. Namun, Than Shwe tetap datang ke India.
“Than Shwe dengan cuek berkunjung ke India, hasilnya, Myanmar dan India membuat banyak perjanjian kerja sama. Inilah yang harusnya dilakukan Yudhoyono, substansi hubungan yang produktiflah yang jauh lebih penting dan harus didahulukan,” ujar Haryadi.
Sumber : VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar